Hagia Sophia dan Fiqih Islam

Oleh : Mahdi Al Hamidi (Kader Sahabat Yamima, Mesir)

        “Gajah di depan mata tak terlihat, sedang semut di seberang lautan begitu nampak jelas”. Peribahasa yang amat tepat untuk di ucapkan hari-hari ini tatkala mendengar komentar eropa tentang alih fungsi museum Hagia sophia menjadi masjid oleh presiden Turki Recep Tayib Erdogan. Qarar (keputusan) ini menuai banyak komentar dari tokoh-tokoh besar barat. Banyak di antara mereka yang menyesalkan keputusan tersebut. Kecaman tersebut bukan tanpa sebab, pasalnya Hagia sophia pada era kerajaan bizantium merupakan bangunan suci yang di agungkan dan menjadi symbol baik agama maupun kemajuan arsitektur. Ia adalah bangunan yang di elu-elukan, tempat serah terima mahkota raja, tempat yang menjadi rujukan di momen-momen paling krusial bahkan saat titik akhir tumbangnya kekuasaan Bizantium di tangan Khilafah Utsmani. Maka tak heran jika baba vatikanpun memenyesali keputusan pemerintah Turki tersebut,  padahal dalam sejarah, banyak sekali masjid yang di alih fungsi menjadi gereja di spanyol akan tetapi seolah-olah kaum muslimin yang paling zalim dan presiden Erdogan yang lalim. Memang “Gajah di depan mata tak nampak sedang semut di seberang lautan sangat jelas di pelipis mata”.

        Hari ini, berubahnya Hagia Sophia menjadi masjid adalah sebuah kebanggan dan symbol kebangkitan Turki dan kaum muslimin secara umum. Karena hal ini bukan sekedar tentang perkara politik, melainkan symbol ideology. Alih fungsi dari gereja menjadi masjid oleh Muhammad Al-Fatih merupakan symbol bangkitnya islam di negri Istanbul itu. salah satu tanda mukjizat dan benarnya risalah sang Nabi ﷺ. Lalu setelah ratusan tahun menjadi masjid, bangunan itu di ubah menjadi mathaf (museum) oleh Mustafa Kemal Ataturk. Perubahan itu menjadi symbol sekulerisme setelah jatuhnya kerajaan Utsmani, khilafah islamiyah terakhir. Maka hari ini, sebagaimana alih fungsi dari masjid menjadi museum menjadi symbol sekulerisme akut yang menyedihkan, maka berubahnya menjadi masjid harusnya menjadi kebangggan dan isyarat bahwa sekulerisme yang durjana mulai gulung tikar dari negri Konstantinopel tersebut. Meskipun demikian, ada di antara kaum muslimin yang agaknya kurang suka dengan keputusan tersebut lalu mereka mengait-ngaitkannya dengan fiqih. Mereka berpendapat bahwa hukum fiqihnya; tidak boleh mengalih fungsikan gereja menjadi masjid sebagaimana yang di ajarkan oleh khalifah Umar bin Khattab kala menaklukan Yerusalem. Bahkan ada yang mengatakan; “jika Umar masih hidup, niscaya ia akan mengingkari apa yang di lakukan oleh Muhammad Al-Fatih yang menghubah Hagia sopiya menjadi masjid”. Perkataan yang tergesa-gesa. Seolah-olah Muhammad Al- Faith melakukannya karena hawa nafsu semata, seakan ia tidak memusyawarahi ulama, padahal beliau hidup di bawah bimbingan satu tokoh ulama bernama Aq Syamsuddin sang tokoh spiritual penakluk Konstantin yang disifati oleh imam Syaukani: “Bahwa syaikh Symasuddin terlihat keberkahan dan keutamaannya tatkala perang penaklukan Konstantin, bahkan ketika itu ia mengabarkan tentang hari dimana Al-Faith akan menaklukannya”.

        Maka tulisan ringkas ini ingin sedikit mengulas keputusan pemerintah Turki dalam pandangan sejarah dan mengaitkannya dengan fiqih. Keduanya sering berdampingan karena memang keduanya  seringkali disebut bersamaan karena keterkatiannya. Seperti dalam kitab Al-Majmu’ yang monumental, penulisnya memberi judul bab yang berbicara tentang peperangan; “bab sejarah dan jihad”. Maka sebelum mengaitkannya dengan masalah fiqh, mari sejenak kita ulas kisah Hagia Sophia.

        Pagi itu sang sultan Muhammad Al-Fatih Rahimahullah kembali ke tenda strategi kemudian memanggil para pemimpin pasukan untuk memberikan beberapa wejangan dan titah terakhir lalu keluar dan menyampaikan khutbahnya yang menyejarah: “jika kita yang menaklukan Konstantinopel ini maka terealisasilah pada diri kita hadits Rasulullah ﷺ  dan mukjiat beliau, dan kemuliaan serta penghargaan yang di janjikan dalam hadits tersebut akan kita dapatkan. Maka kabarkan kepada anak cucu kita satu persatu bahwa; Kemenangan yang kita gapai ini akan kembali mengangkat kemuliaan islam. Maka diwajibkan bagi setiap pasukan untuk senantiasa menjadikan syariat ini sebagai pedoman dalam perang dan tidaklah salah seorang dari mereka menyelisihinya; hendaklah mereka tidak merusak gereja dan tempat-tempat ibadah juga tidak menyentuh para pemuka agama mereka, orang-orang lemah, dan orang-orang tua yang tidak ikut berperang…” .

        Sementara itu di dalam benteng kokoh konstantinopel, raja Bizantium mengumpulkan orang-orang di jantung kota. Ia mengumpulkan semua orang baik laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak untuk berdoa dan menangis di dalam gereja agar mendapatkan kemenangan dan kota mereka kembali aman dari ancaman. Pemandangan kala itu sangat krusial dan historis, dimana sang raja menyampaikan khutbahnya yang sangat menyentuh, membuat setiap orang yang mendengarnya kala itu menangis.  Setelah itu  sang raja mendatangi gereja agung Hagia sophia untuk melaksankan peribadatan terakhirnya, lalu ia menuju istana megahnya pada kunjungannya yang terakhir. Disana ia seolah melakukan perpisahan dengan segala hal yang ada; dengan kursi tahta indahnya, mahkota beningnya, lukisan dan yang lainnya. Pemandangan yang amat historis sampai salah seorang sejarawan Kristen mengatakan: “bahkan jika ada yang hatinya terbuat dari kayupun akan berbanjir air mata ketika menyaksikan ini”.

        Singkat cerita negri itu telah di taklukan setelah perang berkecamuk beberapa waktu. Sehari setelah di taklukan, Sultan Muhammad Al-Fatih berjalan di tengah kota yang mempesona itu. Sementara orang-orang pribumi tidak berani kembali ke rumah masing-masing. Mereka berkumpul di Hagia Sophia dengan penuh ketakutan dan pintu tertutup. Lalu salah seorang tokoh agama Nasrani membuka pintu untuk Sultan Muhammad dan orang-orang yang ada di dalam semakin di penuhi ketakutan. Mereka menyangka akan di bunuh dan di perbudak, akan tetapi ternyata sebaliknya, Muhammad Al-Fatih meminta pemuka agama untuk menenangkan semua yang berlindung di Hagia sophia kemudian mengizinkan mereka untuk pulang ke rumah masing-masing dengan penuh aman dan keselamatan. Melihat keterbukaan dan kebijakan sikap itu, tak sedikit di antara para pemuka agama langsung menyatakan keislamannya.  Dan itulah hari dimana beliau memerintahkan agar Hagia Sophia di ubah menjadi masjid dan kemudian ibadah shalat jum’at pertamapun di laksanakan di negri Konstantinopel itu. Dan Syailh Aq Syamsuddin menjadi Khatib pertama yang melantunkan kalimat-kalimat langit nan suci di negri itu.

        Lalu bagaimana pandangan fiqih tentang perubahan yang di lakukan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih itu? Kenapa Khalifah Umar bin Khattab tidak merubah gereja menjadi masjid?.

Ada perbedaan mendasar ketika sebuah negri yang di taklukan secara damai dan negri yang di taklukan dengan perang. Jika sebuah negri di taklukan dengan perjanjian damai maka islam meberikan kesempatan untuk mengadakan kesepakatan. Maka hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban penduduk non muslim di negri tersebut di atur berdasarkan kesepakatan yang telah di buat. Ini adalah alasan jelas kenapa Umar Bin Khattab tidak mengubah gereja Al-Qiyamah menjadi masjid dan bahkan beliau menolak untuk shalat di dalamnya agar ke depan tidak dijadikan masjid sebab telah ada perjanjian yang tertulis. Isi perjanjian tersebut adalah:

“Bismillahirrahmanirrahim, Ini adalah jaminan keamanan dari hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, dan mereka tidak dipakasa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem. (Ini adalah permintaan penduduk Jerusalem, karena penduduk Jerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Jerusalem).

        Penduduk Jerusalem diwajibkan membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok. Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka. Mereka dijamin aman sampai mereka tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali lagi ke Jerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.

        Apabila mereka membayar pajak sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam”. 

        Maka ketika itu kaum muslimin tidak boleh melanggar perjanjian tersebut. dan inilah pendapat Madzhab Syafi’i. Al Imam Asyirazi menyatakan dalam kitab Al Muhadzab:

وإن كان في بلد فتح صلحا واستثنى فيه الكنائس والبيع جاز إقرارهما (الكنائس والبيع) لأنه إذا جاز أن يصالحوا على أن لنا النصف ولهم النصف جاز أن يصالحوا على أن لنا البلد إلا الكنائس والبيع.

“… Adapun pada suatu negri yang di taklukan dengan damai (tanpa merang), jika gereja dan tempat beribadah orang yahudi di kecualikan (dalam perjanjian) maka di izinkan untuk tetap berdiri, karena jika kita di perbolehkan mengadakan perjanjian dengan mereka dengan syarat sebagain negri menjadi milik kita dan sebagiannya menjadi milik mereka maka diperbolehkan mengadakan perjanjian dengan syarat negri tersebut untuk kita kecuali gereja dan tempat ibadah orang yahudi… ” (Al-Majmu’, jilid 21, hal 231).

Ibnul Qayyim berkata:

وأما القسم الثالث وهو ما فتح صلحاً وهذا نوعان: أحدهما: أن يصالحهم على أن الأرض لهم ولنا الخراج عليها أو يصالحهم على مال يبذلونه وهي الهدنة فلا يمنعون من إحداث ما يختارونه فيها لأن الدار لهم كما صالح رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل نجران ولم يشترط عليهم ألا يحدثوا كنيسة ولا ديراً.. النوع الثاني: أن يصالحهم على أن الدار للمسلمين ويؤدون الجزية إلينا فالحكم في البيع والكنائس على ما يقع عليه الصلح معهم من تبقية وإحداث وعمارة لأنه إذا جاز أن يقع الصلح معهم على أن الكل لهم جاز أن يصالحوا على أن يكون بعض البلد لهم والواجب عند القدرة أن يصالحوا على ما صالحهم عليه عمر رضي الله عنه ويشترط عليهم الشروط المكتوبة في كتاب عبد الرحمن بن غنم ألا يحدثوا بيعة ولا صومعة راهب ولا قلاية فلو وقع الصلح مطلقاً من غير شرط حمل على ما وقع عليه صلح عمر وأخذوا بشروطه لأنها صارت كالشرع فيحمل مطلق صلح الأئمة بعده عليها.

Artinya:

“Sedangkan  yang ketiga: yaitu jika suatu negri di taklukan secara damai, maka ia terbagi dua:

1.     Mengadakan perjanjian bahwa tanah-tanah ngeri tersebut menjadi milik mereka akan tetapi mereka membayar kharaj (semacam pajak hasil bumi), atau dengan syarat mereka membayar sejumlah uang (hudnah) maka ketika itu mereka tidak dilarang untuk membangun hal-hal yang mereka inginkan, hal itu dikarenakan tanah tersebut milik mereka. sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ pada penduduk Najran, bahwa beliau tidak menysaratkan mereka untuk tidak mmbangun gereja ataupun tempat ibadah yahudi.

2.     Mengadakan perjanjian bahwa tanah-tanah menjadi milik kaum muslimin akan tetapi mereka (non muslim) mengeluarkan jizyah maka ketika itu hukum gereja dan tempat peribadatan yahudi mereka di tentukan oleh perjanjian baik perizinan untuk tidak di hancurkan ataupun membangun yang baru karena jika melakukan perjanjian dengan mereka dengan ketentuan bahwa negri menjadi milik mereka (dengan syarat pertama) maka boleh juga mengajukan syarat bahwa sebagian negri menjadi milik mereka. dan jika ada kemampuan maka wajib mensyaratkan perjanjian sebagaimana perjanjian Khalifah Umar bin Khattab yang dimana beliau mensyaratkan agar mereka tidak membuat tempat ibadah baru. Adapaun jika telah terjadi perjanjian secara mutlak (tanpa ada persyaratan rinci tentang hal tersebut) maka hukumnya adalah seperti perjanjian Umar karena ia menjadi seperti Syar’ maka hukum para ulama yang berlaku sebelumnya di implementasi dalam hal ini”.

        Maka dari sini kita tau bahwa jika suatau negri di taklukan dengan damai maka kaum muslimin boleh mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang dapat disepakati bersama, dan inilah yang dilakukan oleh Khalifa Umar bin Khattab sehingga beliau tidak merubah gereja Al-Qiyamah menjadi masjid atapun menghancurkannya.

Adapun jika suatu negri di taklukan dengan perang maka seluruh negri dan seisinya menjadi milik pasukan kaum muslimin. Bahkan tempat ibadah sekalipun. Maka dariitu  Ibnul Qayyim berkata:

وأما القسم الثاني: وهو الأرض التي أنشأها المشركون ومصروها ثم فتحها المسلمون عنوة وقهراً بالسيف فهذه لا يجوز أن يحدث فيها شيء من البيع والكنائس. وأما ما كان فيها من قبل الفتح فهل يجوز إبقاؤه أو يجب هدمه فيه قولان في مذهب أحمد وهما وجهان لأصحاب الشافعي وغيره: أحدهما: يجب إزالته وتحرم تبقيته. والثاني: يجوز بناؤها -أي بناء أهل الكتاب لها لا المسلمون- لقول ابن عباس رضي الله عنهما: أيما مصر مصرته العجم ففتحه الله على العرب فنزلوه فإن للعجم ما في عهدهم ولأن رسول الله صلى الله عليه وسلم فتح خيبر عنوة وأقرهم على معابدهم فيها ولم يهدمها ولأن الصحابة رضي الله عنهم فتحوا كثيراً من البلاد عنوة فلو يهدموا شيئاً من الكنائس التي بها ويشهد لصحة هذا وجود الكنائس والبيع في البلاد التي فتحت عنوة ومعلوم قطعاً أنها ما أحدثت بل كانت موجودة قبل الفتح وفصل الخطاب أن يقال: إن الإمام يفعل في ذلك ما هو الأصلح للمسلمين فإن كان أخذها منهم أو إزالتها هو المصلحة لكثرة الكنائس أو حاجة المسلمين إلى بعضها وقلة أهل الذمة فله أخذها أو إزالتها بحسب المصلحة وإن كان تركها أصلح لكثرتهم وحاجتهم إليها وغنى المسلمين عنها تركها وهذا الترك تمكين لهم من الانتفاع بها لا تمليك لهم رقابها فإنها قد صارت ملكاً للمسلمين فكيف يجوز أن يجعلها ملكاً للكفار وإنما هو امتناع بحسب المصلحة فللإمام انتزاعها متى رأى المصلحة في ذلك.

فبهذا التفصيل تجتمع الأدلة وهو اختيار شيخنا وعليه يدل فعل الخلفاء الراشدين ومن بعدهم من أئمة الهدى وعمر بن عبد العزيز هدم منها ما رأى المصلحة في هدمه وأقر ما رأى المصلحة في إقراره وقد أفتى الإمام أحمد المتوكل بهدم كنائس السواد وهي أرض العنوة.

Artinya:

“Sedangkan bagian kedua yaitu: ketika suatu negri di bentuk oleh orang-orangn kafir lalu di taklukan oleh kaum muslimin setelah perang maka ketika itu tidak boleh seseorang membangun gereja atau tempat ibadah bagi agama lain. Sedangkan tempat-tempat ibadah yang sudah ada sejak sebelum negri tersebut di taklukan apakah wajib untuk di hancurkan ataukah boleh untuk tetap berdiri?. Dalam hal ini Madzhab Hanabilah memiliki dua pendapat dan dua pendapat ini juga merupakan pendapat madzhab Syafi’i:

1.     Wajib untuk di hancurkan dan di haramkan untuk membiarkannya.

2.     Diperbolehkan (bagi ahli kitab) untuk membangunnya dengan dalil perkataan Ibnu Abbas: “ketika suatu negri di bangun oleh orang ajam (non arab) kemudian di taklukan oleh bangsa arab maka orang ajam berhak mendapatkan apapun sesuai perjanjian yang telah di sepakati”. Dan juga ketika Rasulullah ﷺ menaklukan Khaibar dengan peperangan, beliau tidak menghancurkan tempat ibadah yang ada disanana. Dan juga sejarah mencatat bahwa para sahabat kerap kali menaklukan negri-negri akan tetapi mereka tidak pernah menghancurkan tempat-tempat ibadah disana. Dan bukti paling jelas dalam hal ini adalah adanya tempat-tempat ibadah (selain masjid) di negri-negri yang telah di taklukan. Dan telah di ketahui bahwa itu tidak di bangun baru akan tetapi sudah ada sejak sebelum negri tersebut tertaklukan.

Maka yang rajih adalah: Pemimpinlah yang memberi keputusan yang terbaik bagi kaum muslimin. Jika mengambil alih atau menghancurkan tempat ibadah itu memiliki maslahat yang lebih banyak bagi kaum muslimin dari sisi bahwa di negri tersebut sudah banyak gereja lain, atau kaum muslimin membutuhkannya maka hal ini diperbolehkan sesuai kemaslahatan. Dan jika membiarkannya lebih mendatangkan maslahat seperti banyakna jumlah mereka (maka mereka butuh tempat ibadah), atau karena kaum muslimin tidak membutuhkannya maka hal ini juga di perbolehkan. Membiarkannya merupakan bentuk persetujuan untuk di manfaatkan, bukan kepemilikan utuh untuk mereka karena sesunggunya tempat-tempat ibadah tersebut telah menjadi milik kaum muslimin maka bagaimana mungkin ia kembali menjadi milik orang-orang kafir?. Sesunggunya hal itu hanya berdasarkan kemaslahatan dan ketika itu pemimpinpun bebas untuk mengambil dan menghancurkannya jika ia melihat maslahat kapanpun itu.

        Dengan rincian seperti ini kita telah menggabungkan semua dalil. Ini juga adalah pendapat guru kita (Ibnu Taimiyah). Dan inilah yang dapat di pahami dari apa yang dilakukan oleh para Khualafaurrsasyidin dan para ulama setelah mereka. Umar Bin Abdul Aziz kerap meruntuhkan bangunan peribadatan ketika melihat ada maslahat, akan tetapi disisi lain, beliau juga terkadang membiarkannya tegak berdiri karena juga ada kemaslahatan. Dan juga imam Ahmad Bin Hanbal pernah berfatwa kepada Al-Mutawakkil untuk menghancurkan gereja Sawad yang dimana ia berdiri di negri yang di taklukan dengan peperangan”.

Dari sini kita tau bahwa ketika suatu negri di taklukan dengan peperangan maka negri dan seisinya menjadi milik kaum muslimin dan pemimpin ketika itu di beri kebebasan untuk mengaturnya sesuai kemaslahatan.

Tentang Pembagian Ghanimah atau harta rampasan perang dan tanah wakaf:

        Pada dasarnya harta rampasan perang di bagi-bagi berdasarkan pembagian yang telah di tentukan dan pembahasannya sangat jelas dalam kitab-kitab fiqih. Akan tetapi Umar Bin Khattab berijtihad untuk kala itu tidak membagi bagikan tanah Jerussalem. Beliau berpendapat bahwa yang dibagi-bagikan adalah harta-harta yang dapat berpindah tangan, tidak mencakup aqarat tanah dan bangunan-bangunannya. Jadi negri memang milik kaum muslimin akan tetapi bangunannya tidak dibagi-bagikan, akan tetapi ia menjadi Wakaf para pasukan untuk kaum muslimin yang hidup setelah mereka.  maka ketika itu, tanah dan bangunan-bangunan menjadi wakaf kaum muslimin dan seketika hukum wakaf pun melekat padanya. Maka demikianlah yang terjadi pada Konstantiopel dan dalalm hal ini khususnya masjid Hagia sophia, ia adalah wakaf dari khalifah dan para pasukan untuk kaum muslimin.

ketika itu, tidak boleh mengalih fungsi wakaf hingga keluar dari maksud awal wakaf tersebut, seperti menjadikan rumah wakaf menjadi kebun. Ibnu hajar Al Haitami berkata:

وحاصل كلام الأئمة في التغيير أنه لا يجوز تغيير الوقف عن هيئته فلا يجعل الدار بستانا ولا حماما ولا بالعكس إلا إذا جعل الواقف إلى الناظر ما يرى فيه مصلحة الوقف

“Dan ini pendapat para ulama dalam hal iini adalah: tidak boleh mengubah wakaf menjadi sesuatu yang tidak seseuai dengan bentuk awal di wakafkannya, semisal; merubah rumah (wakaf) menjadi kebun atauoyn kamar mandi (umum) dan tidak boleh juga sebaliknya kecuali jika pewakaf memberi izin kepada orang yang bertanggung jawab untuk melakukan hal yang memilki maslahat tentang wakaf tersebut.”

        Maka dari sini kita tau bahwa keputusan Mustafa Kemal Ataturk untuk mengganti Hagia Sophia menjadi museum pada tahun 1935 M  adalah keputusan yang menyelisihi syar’i dan tidak disepakati oleh fiqih islami. Bahkan menutupnya pada tahun 1931 M  saja dengan alasan yang tidak dibenarkan merupakan bentuk menghalangi orang dari menghidupkan syiar islam di dalam masjid. Allah ﷻ berfirman:

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ أَن يُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهُۥ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ مَا كَانَ لَهُمۡ أَن يَدۡخُلُوهَآ إِلَّا خَآئِفِينَۚ لَهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا خِزۡيٞ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١١٤

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat”. (QS:2:114).

        Jadi jusrtu apa yang dilakukan oleh Ataturklah yang menyelisihi syar’i. Maka  apa yang di lakukan oleh presiden Edrdogan hari ini merupakan upaya untuk mengembalikan Hagia sophia ke fungsi semula adalah perbuatan yang sesuai dengan fiqih islami.

Allahu a’lam…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top