Syaikh DR. Nasir Al Umar mengisahkan,
Dahulu di komplek kami ada seorang muadzin, kira-kira saya bertemu 50 tahun yang lalu. Beliau adalah seorang tuna netra.
Komplek tempat kami tinggal digusur oleh pemerintah kecuali masjid. Sebab masjid memiliki urgensi tersendiri bagi daerah tersebut.
Muadzin ini juga diminta pindah, namun ia menjawab, “Apakah kalian memintaku untuk meninggalkan adzan? Aku tak mungkin meninggalkannya!”
Mereka bertanya, “Lalu apa solusinya?”
Ia menjawab, “Saya akan tetap tinggal di sini!”
Setelah diskusi panjang, akhirnya ia menyepakati, “Saya akan pindah namun dengan syarat!”
Mereka bertanya, “Apa syaratnya?”
Ia menjawab, “Kalian bawa saya ke masjid sebelum dhuhur, dan saya akan tetap di masjid hingga isya’. Setelah isya’ kalian jemput saya! Adapun subuh saya kasihan kepada kalian!”
Ia terus menjadi muadzin hingga akhir hayatnya.
Detik-detik akhir sakitnya, ia berkata kepada anak-anaknya, “Aku ingin berwudhu!” Kelurganya pun senang, karena sang ayah sudah terlihat kuat dan sembuh.
Ia berkata kepada anak-anak, “Arahkan aku ke kiblat!”
Mereka pun menghadapkannya ke kiblat. Ternyata ia adzan sebagaimana adzan biasanya. Seketika itu juga ia jatuh dan meninggal dunia. Ucapan terakhirnya adalah Laa Ilaaha Illallah di akhir adzan.
Seseorang akan meninggal sesuai dengan kebiasaannya.
Dialih bahasakan dari muhadharah Syaikh:
https://www.youtube.com/watch?v=iiSMHTzG5Aw